Purwaka
Pada hari rabu, 25 Maret 2009 (Budha Pahing Kuningan) umat Hindu di Indonesia kembali menyelenggarakan Karya Agung Panca Bali (Wali) Krama sebagai salah satu rangkaian siklus upacara Bhuta Yadnya dalam agama Hindu yang berhubungan dengan Ekadasa Rudra. Apabila Ekadasa Rudra diselenggarakan bertepatan dengan Tilem Caitra saat tahun Saka berakhir dengan 00 atau rah windu tenggek windu atau windu turas (setiap seratus tahun sekali), maka Panca Bali Krama diselenggarakan bertepatan dengan Tilem Caitra saat tahun Saka berakhir dengan 0 atau rah windu (setiap sepuluh tahun sekali) seperti tersurat di dalam lontar Indik Ngekadasa Rudra. Landasan yang digunakan sebagai dasar terselenggaranya Karya Agung Panca Bali Krama tersurat di dalam kitab suci Veda, Samhita, Brahmana, Aranyaka, Upanisad, dan kitab-kitab Purana.
Sebagai salah satu rangkaian siklus Panca Maha Yajnya,Bhuta Yadnya tidak terpisahkan dengan rangkaian Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Resi Yadnya dan Manusa Yajnya karena merupakan satu kesatuan yang utuh. Kata yajnya memiliki makna yang dalam karena dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk. Tidak hanya dalam bentuk pelaksanaan upacara, namun dapat berbentuk berbagai aktivitas kerja. Dalam kitab suci Veda, uraian tentang yajnya dan karma (kerja) diuraikan dalam satu kesatuan. Kitab Bhagawad Gita misalnya, tidak hanya menguraikan tentang ethos kerja tetapi juga hakikat kerja. Yajnya dan karma adalah jalan pembebasan, jalan pembebasan diri dari belenggu materialisme.
Karya Agung Ekadasa Rudra telah diselenggarakan di Bali pada Tilem Caitra Saka 1900 (Maret 1979) sebagai rangkaian siklus Bhuta Yadnya, dilanjutkan dengan Karya Agung Panca Bali Krama setiap sepuluh tahun sekali. Terakhir, Panca Bali Krama diselenggarakan bertepatan dengan Tilem Caitra (Tilem Kasanga) Saka 1920, tanggal 17 Maret 19999 yang dipusatkan di Bancingah Agung Pura Panataran Agung Besakih, di kaki Gunung Agung.
Selain diselenggarakan dalam kurun waktu tertentu, Panca Bali Krama juga diadakan pada saat-saat tertentu sesuai keperluan. Menurut teks lontar
a. Panca Bali Krama yang diadakan pada saat tahun Saka berakhir dengan 0 (rah windu) atau menjelang pasalin rah tunggal, misalnya tahun Saka 1910, 1920, dan seterusnya.
b. Panca Bali Krama Panregteg diadakan tidak terikat dengan rah windu, tetapi dilaksanakan karena Panca Bali Krama sudah lama tidak diadakan.
c. Panca Bali Krama yang diadakan di Pura Panataran Agung Besakih karena terjadi bencana alam yang bertubi-tubi, seperti desa-desa hilang tersapu banjir, desa-desa ditelan bumi karena gempa dahsyat, gunung meletus disertai hujan abu yang menyebabkan bumi gelap gulita, hama merajalela, umur manusia pendek, orang jahat dikira baik, sebaliknya orang baik dikira jahat, dan lain-lain.
d. Panca Bali Krama yang diadakan di tempat-tempat tertentu di luar Pura Panataran Agung Besakih, misalnya di pusat kerajaan (sekarang kabupaten/kota atau propinsi) untuk menyucikan wilayah tertentu. Di masa lalu, pernah diadakan di Denpasar dan Mengwi.
e. Panca Bali Krama Ring Danu, ialah Panca Bali Krama yang diadakan di danau (biasanya dipilih danau yang terbesar) serangkaian dengan upacara Candi Narmada di samudra (laut). Upacara itu seharusnya dilaksanakan sebelum diadakan Karya Agung Ekadasa Rudra.
Panca Bali Krama: Bhuta Yajna dan Dewa Yajna
Yadnya, yang telah dan akan dilakukan oleh umat Hindu merupakan kewajiban yang patut dilaksanakan. Keseluruhan rangkaian yadnya diklasifikasikan dalam Panca Maha Yajna yang terdiri atas Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Resi Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya, seperti disuratkan dalam kitab suci Veda dan secara eksplisit ditegaskan dalam Kitab Satapata Brahmana maupun Manawa Dharmasastra (III, , 68, 69, 70, 71 dan 72) (lihat Die Religionen Indies I, Veda und ulterer Hinduismus, Kohlhamer, 1960). Dengan demikian, pelaksanaan yajna sesungguhnya berlandaskan ajaran kitab suci Veda.
Bhuta Yadnya merupakan persembahan kepada bhuta yang merupakan unsur-unsur yang membangun alam semesta (bhuwana alit maupun bhuwana agung atau segala bentuk material di alam raya ini), disebut panca maha bhuta, terdiri atas prethiwi (unsur tanah), apah (unsur air), teja (unsur sinar), vayu (unsur angin) dan akasa (ether), yang dibentuk oleh lima unsur lebih halus, disebut panca tan matra yang tediri atas gandha (unsur bau), rasa (rasa), sparsa (sinar), rupa (rupa) dan sabda (suara). Semua unsur tersebut berstruktur dan bersistem dalam harmoni. Namun dalam perjalanan waktu, karena tindakan dan perbuatan manusia, kadangkala mengalami disharmoni. Oleh karena itu dalam kurun waktu tertentu diadakan upacara untuk mengharmoniskannya dengan upacara Bhuta Yajna dan upakara bali, berupa caru atau tawur. Harapan yang ingin dicapai ialah Bhuta Hita atau Jagat Hita maupun Sarwa Prani Hita, keharmonisan yang akan memberikan kerahayuan hidup bagi manusia dan mahluk lainnya.
Bhuta Yajna diadakan di tempat dan pada waktu terpilih (pangaladesa, subhadiwasa), yaitu pada Tilem Caitra (Tilem Kasanga), ketika matahari berada di atas khatulistiwa dan ketika bumi, bulan dan matahari dalam posisi tegak lurus. Posisi Bhuwana Agung pada saat ini (terlebih pada saat sandhya-kala) dipandang sebagai posisi yang tepat untuk mengadakan Bhuta Yajna. Penyelenggaraannya dilakukan di sebuah tempat yang secara simbolis dianggap sebagai madhyanikang bhuwana (tengahnya dunia), di sebuah natar (lebhuh, pempatan) di mana prethiwi (bumi, tanah) dan akasa (langit) bersemuka.
Setelah upacara Bhuta Yajna dilaksanakanlah upacara Dewa Yajna sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan. Ketika bulan sempurna di langit (purnama) diselenggarakanlah Dewa Yajna. Purnama kadasa (juga Purnama Kartika) adalah purnama yang dianggap paling “sempurna”, karena saat itu bulan purnama berada paling dekat dengan garis khatulistiwa. Inilah yang dipandang sebagai “subhadiwasa” untuk melaksanakan Dewa Yajna. Oleh karena itu, upacara Ngusaba Kadasa yang disebut juga Bhatara Turun Kabeh.
Menurut pandangan Agama Hindu, manusia hidup “di antara” Bhuta dan Dewa, maka dengan melaksanakan Bhuta Yajna dan Dewa Yajna diharapkan manusia menyadari dirinya yang pada hakikatnya adalah “Cahaya Tuhan” yang berasal dari dan akan kembali kepada “Sang Maha Cahaya”. Bukan sebaliknya ‘jatuh” ke dalam kegelapan (bhuta). Tetapi bhuta perlu dijaga keharmonisannya (somya) dengan berbagai upaya sebagaimana diajarkan dalam ajaran Agama Hindu. Bhuta Yajna juga diselenggarakan karena manusia menjadikan bhuta (juga tan matra) sebagai obyek indrianya. Obyek indria diupayakan dalam keadaan bhuta hita sehinga dengan demikian kerahayuan hidup akan dapat dicapai. Setelah bhuta menjadi somya, maka Hyang Bhutapati yang juga adalah Hyang Pasupati atau Hyang Jagatpati distanakan lalu dipuja. Dengan demikian, Panca Bali Krama di samping sebagai Bhuta Yajna, pada dasarnya juga adalah Dewa Yajna, pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Panca Bali Krama dan Panca Brahma
Kitab Wrehaspati Tattwa menyuratkan bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa disebut sebagai Sadasiwa dengan singgasana Padmasana (singgasana teratai) yang memancar ke arah empat penjuru alam semesta. Secara antrophomorfis diwujudkan dalam empat Kemahakuasaan yang maha gaib sebagai empat Dewa yang menjadi Penguasa empat penjuru alam semesta. Saktinya (Kemahakuasaannya) terdiri atas Wibhu Sakti (Maha Ada), Prabhu Sakti (Maha Kuasa), Jnana Sakti (Maha Tahu) dan Kriya Sakti (Maha Pencipta), disebut Cadu Sakti atau Catur Sakti, yakni Empat Kemahakuasaan Hyang Siwa. Hyang Sadasiwa yang berstana di tengah bunga padma adalah mantratma, mantra sebagai wujudNya. Isana sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka, Aghora sebagai hati, Bhamadewa sebagai badan halus, Sadyojata sebagai wujudNya, Aum. Hyang Sadasiwa (Tuhan Yang Maha Kuasa) wujudnya bening seperti kristal. Kelima wujud itu disebut Panca Brahma atau Panca Dewata, masing-masing denagn bija aksaraNya (aksara suci): SANG, BANG, TANG, ANG, ING. Dalma konsepsi padma bhuwana atau padma mandala masing-masing sebagai:
a. Penguasa penjuru Timur alam semesta (Purwa) adalah Sadyojata denga gelar lain Iswara;
b. Penguasa penjuru Selatan (Daksina) adalah Bhamadewa dengan gelar lain Brahma;
c. PEnguasa penjuru Barat (Pascima) adalah Tatpurusa dengan gelar lain Mahadewa;
d. Penguasa penjuru Utara (Uttara) adalah Aghora dengan gelar lain Wisnu;
e. Penguasa di pusat (Madhya) adalah Siwa sendiri disebut juga ISana, Penguasa Yang Maha Agung.
Panca Brahma (lihat Vasudeva S. Agravala (1984)) adalah penguasa dari Panca Maha Bhuta dan Panca Tanmatra. Sadyojata penguasa Pratiwi (tanah) dan gandha (bau), Bhamadewa penguasa apah (air) dan rasa (rasa), Aghora penguasa teja (api) dan sparsa (cahaya, warna), Tatpurusa penguasa bayu (angin) dan rupa (rupa), Isana adalah penguasa akasa (ether) dan sabda (suara). Panca Brahmajuga menjadi pengendali Panca Jnanendriya atau Panca Bhudindriya. Sebagaimana halnya akasa, Isana juga pengendali srotendriya (indria pendengar), Tatpurusa pengendali twakindriya (indria rasa sentuhan), Aghora (pengendali cakswindriya (indria penglihatan), Bhamadewa pengendali jihwendriya (indria rasa lidah), Sadyojata adalah pengenali ghranendriya (indria penciuman). Seperti diketahui, Panca Tanmatra adalah obyek Panca Jnanendriya, dan Panca Tanmatra adalah unsur dasar yang membangun Panca Maha Bhuta.
Dengan demikian, tampaklah hubungan yang erat antara Panca Brahma dengan Panca Maha Bhuta, Panca Tan Matra, dan Panca Jnanendriya sehingga jelas pulalah makna Karya Agung Panca Bali Krama yang diselenggarakan oleh umat Hindu merupakan pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan KekuasaanNya yang membentang ke empat penjuru alam semesta (Bhuta Iswara, Bhutapati) untuk memohon kerahayuan jagat (bhuta hita, jagathita). Bersamaan dengan itu, umat Hindu mengukuhkan kesadarannya tentang hakikat keberadaannya di alam semesta ini, hakikat dirinya yang suci, hakikat tujuan hidupnya untuk manunggal,kembali pada asalnya, Tuhan Yang Maha Suci.
Panca Bali Krama, Panca Giri dan Pura Panataran Agung Besakih
Lonta Tantu Pangelaran menyiratkan bahwa gunung (giri, meru, parwata) memberikan kerahayuan (amreta) kepada manusia yang hidup di kaki dan datarannya. Selain itu, gunung merupakan pusat orientasi kesucian bagi umat Hindu, gunung-gunung dipandang sebagai satu kesatuan sehinga muncul konsepsi panca giri. Kitab-kitab yang mengajarkan ajaran yoga, pertama-tama menguraikan tentang Gunung Mahameru sebagai tempat Sthana Hyang Siwa yang digambarkan sebagai pusat padma dunia raya. Bagi seorang sadhaka, gunung itu terletak di sahasrara padma, di kepala manusia, tempat Hyang Siwa menurunkan ajaran-ajaranNya yang kemudian dicatat dalam berbagai Yamala, Damara, Siwasutra dan Kitab Tantra dalam bentuk tanya jawab (dialogis catekismus) antara Hyang Siwa dengan SaktiNya Dewi Parwati. Gunung dalam alam sakala maupun niskala sangat penting bagi umat Hindu, dipandang sebagai linga acala, linga yang tidak bergerak.
Karena gunung yang tertinggi (Mahameru, Gunung Agung) dinyatakan berada di pusat padma dunia, maka gunung-gunung yang lain menempati posisi dik widik. Dunia atau wilayah yang lebih kecil digambarkan sebagai bunga padma, disebut padma bhuwana atau padma mandala sehingga dalam konteks Bali, Gunung Agung menempati posisi di tengah padma mandala, Gunung Lempuyang di Timur, Gunung Andakasa di Selatan, Gunung Batukaru di Barat dan Gunung Batur di Utara. Di tempat tersebut didirikan pura atau tempat suci utama, menempati posisi dik, sementara yang menempati posisi widik adalah Pura Gua Lawah di Tenggara, Pura Luhur Uluwatu di Barat Daya, Pura Pucak Mangu di Barat Laut. Pura Agung Besakih juga menempati posisi Timur Laut (Airsanya). Pura yang biasa disebut Sad Kahyangan tersebut merupakan kesatuan, bagaikan sebuah bunga padma dengan delapan helainya (dala) yang menunjuk delapan penjuru, dengan sarinya berada di tengah.
Pada sari bunga padma yang suci itu didirikan Padma Agung (Padma Tiga) yang merupakan Panataran Agung Besakih masih memiliki dala pada posisi dik, masing-masing Pura Gelap (Timur, Sadyojata, atau Iswara). Pura Kiduling Kreteg (Selatan, Bhamadewa atau Brahma), Pura Ulun Kulkul (Barat, Tatpurusa atau Mahadewa), Pura Batu Madeg (Utara, Aghora atau Wisnu) yang disebut Pura Catur Lokaphala atau Catur Dala. Secara holistik, maka Padma Tiga Pura Panataran Agung Besakih, pertama-tama disangga oleh pura catur dala, selanjutnya ditopang lagi oleh pura Sad Kahyangan (pura utama) yang terletak di delapan penjuru Pulau Bali atau asta dala. Pura Kahyangan Jagat yang didirikan di seluruh Nusantara dapat berfungsi sebagai sahasra dala, seribu kelopak bunga padma.
Apabila pelaksanaan upacara besar di Pura Agung Besakih diperhatikan, khususnya upacara Bhatara Turun Kabeh dalam rangka Panca Bali Krama merefleksikan telah diterapkannya konsepsi padma kuncup. Dalam rangkaian upacara Tabuh Gentuh (setiap tahun), Dewata yang disthanakan pada masing-masing pura catur dala, disatukan di tengah (Pura Panataran Agung). Dewata yang disthanakan di pura catur dala yang lebih jauh (Pura Lempuyang Luhur, Pura Andakasa, Pura Batukaru, Pura Batur) disatukan di Pura Panataran Agung Besakih, dan akhirnya pada upacara Bhatara Turun Kabeh dalam rangkaian Karya Agung Baligya Marebhu Bhumi (seribu tahun sekali), Dewata yang disthanakan di pura sahasra dala secara simbolis juga disatukan di Pura Panataran Agung Besakih. Begitu pentingnya posisi Pura Agung Besaki (dari kata “basuki” berarti rahayu), pura yang senantiasa dijaga keagungan, keindahan dan kesuciannya, sehingga pada dasarnya merupakan perwujudan ajaran Satyam Siwam Sundaram
Panca Bali Krama, Tahun Saka dan Nyepi
Perhitungan penetapan tahun Saka tidak hanya melihat posisi matahari (surya pramana) tetapi juga posisi bulan (candra pramana) sehingga disebut surya candra pramana. Sistem penetapan Tahun Baru Saka menunjukkan bahwa umat Hindu sangat memperhatikan benda-benda “bersinar” di langit sebagai refleksi senantiasa mengembangkan wawasan kesemestaan, kesejagatan (Brahmanda). Benda-benda “bersinar” di langit, secara langsung dirasakan pengaruhnya pada kehidupan manusia di bumi, khususnya kaitannya dengan perubahan musim. Namun, secara spiritual menunjukkan bahwa agama Hindu berorientasi pada “sinar” (divine) sehingga muncullah kata Dewa (dari div berarti bersinar). Umat Hindu menyadari hakikat dirinya adalah “Cahaya Suci Tuhan Yang Maha Kuasa”, selanjutnya ingin membangun dirinya menjadi divine man, lebih lanjut membangun divine society, manusia dan masyarakat yang memancarkan Sinar Suci Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara etis, manusia Hindu ingin melenyapkan sifat-sifat kegelapan atau keraksasaan dalam dirinya (asuri sampat) dan memupuk terus sifat-sifat kedewataan (daivi sampat). Inilah landasan yang sangat esensial bagi pembangunan jati diri manusia dan peradaban Hindu.
Surya sebagai benda bersinar di langit yang diam dan tidak berubah merupakan pusat orientasi umat Hindu, bukan pada sesuatu yang berubah. Tuhan Yang Maha Kuasa adalah Abadi. Oleh karena itu, Beliau disebut Sangkan Paraning Dumadi (dari mana dan hendak kemana manusia pergi). Oleh karena itu pula, Surya dijadikan simbol sesuatu yang Abadi, Maha Cahaya, lalu dijadikan sthana Tuhan Yang Maha Kuasa, Hyang Siwa Aditya.
Pada saat Surya tegak di atas khatulistiwa, disebut Wiswayana (apabila Surya berada di sebelah selatan khatulistiwa disebut Daksinayana, bila di utara khatulistiwa disebut Uttarayana) dipandang sebagai saat yang tepat untuk melaksanakan upacara penyucian bhuwana dan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Setelah itu, umat Hindu memasuki tahun baru dengan melaksanakan “brata penyepian”. Artinya, dalam mengawali langkahnya memasuki kehidupan yang baru, umat Hindu melaksanakan ajaran agamanya yang terpenting, yaitu tapa, brata, yoga dan samadhi, yang pada intinya berisi pengendalian diri dan pemusatan pikiran kepada Sang Pencipta.
Pada Hari Nyepi, umat hindu berharap dapat memasuki alam sunya, alam yang sempurna, heneng (tenang) dan hening (jernih). Dang Hyang Kamalanatha (Dang Hyang Dwijendra) dalam karyanya Dharma Sunya dan Dharma Putus menekankan bahwa sunya tersebut adalah kesadaran ketika telah bersatu dengan Paramasiwa yang dipuja sebagai Sang Hyang Sakala Atma (jiwa dari segala yang hidup), dan digambarkan sebagai “Sang Saksat pinakesti ning manah aho” (Beliau yang tak ubahnya sebagai isi pikiran suci), serta “Sang mawak ring tuturku” (Beliau yang mewujud dalam kesadaranku). Demikianlah alam sunya adalah tujuan tertinggi yang diyakini dapat dicapai dengan latihan yang dilakukan terus menerus. Itulah sebabnya Agama Hindu memberi kedudukan terpenting pada ajaran tapa, brata, yoga dan samadhi, antara lain dengan jalan melakukannya secara bersama-sama pada hari Nyepi.
Om Nama Siwaya,
Om Shanti, Shanti, Shanti
Om
Sumber :
Lontar Ngekadasa Rudra; Lontar Widhi Widhanan Ing Tawur Ekadasa Rudra; Raja Purana Besakih, Lontar Ekadasa Rudra; Lontar Indik Karya Ekadasa Rudra; Lontar Bhama Krthih; Lontar Candi Narmada (Koleksi Griha Taman Intaran Sanur, Griha Pidada Karangasem; Griha Wanasari; Griha Lod Rurung Riang Gede; Griha Aan Klungkung; dan Yayasan Dharma Sastra), dan buku “Panca Bali Krama” (Penjelasan Singkat) oleh Ida Bagus Gede Agastia, diterbitkan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Tahun 1998
Dikutif ; KARTA WIDNYANA Darti Sumber Pusata Hindu
SEKILAS TENTANG
TAUR PANCA WALI KRAMA
DI PURA AGUNG BESAKIH
(Disampaikan pada Pembekalan Pinandita DKI, tgl. 21-2-2009 di Jakarta)
1. PENDAHULUAN
Pura Agung Besakih sebagai pura terbesar di Bali dan di
Sejak tahun 1963, hingga saat ini banyak upacara-upacara besar yang telah terlaksana diantaranya :
a. Sukra Pon Julungwangi, 9 Maret 1963 : Upacara Taur Eka Dasa Rudra (Panregteg), yaitu upacara yang bersifat menyusul / melengkapi karena pada waktu yang semetinya telah terlaksana karena satu dan lain hal tidak dapat dilaksanakan.
b. Soma Kliwon Krulut, 10 April 1978 : Upacara Taur Panca Wali Krama menjelang upacara Taur Eka Dasa Rudra. Tahun 1979.
c. Buda Paing Wariga, 28 Maret 1979 : Upacara Taur Eka Dasa Rudra
d. Buda Kaliwon Paang, 8 Maret 1989 : Upacara Taur Panca Wali Krama
e. Buda Wage Krulut, 21 Maret 1993 : Upacara Candi Narmada dan Upacara Taur Panca Wali Krama di Danu Nyegjegang Sanghyang Samudra dan Bhatari Danu.
f. Anggara Umanis Krulut, 23 Maret 1993 : Upacara Taur Tri Bhuwana
g. Buda Wage Menail, 20 Maret 1996 : Upacara Taur Eka Bhuwana .
h. Buda Umanis Prangbakat, 27 Maret 96 : Upacara mendem pedagingan dan mlaspas semua palinggih. Upacara ini dilaksanakan sehubungan telah selesainya satu siklus 100 tahunan yang ditandai dengan dilaksana-kannya upacara Taur Eka Bhuwana, sebagai awal kegiatan untuk siklus berikutnya.
i. Buda Umanis Dukut, 17 Maret 1999 : Upacara Taur Panca Wali Krama
j. Buda Paing Kuningan, 25 Maret 2009 : Upacara Taur Panca Wali Krama.
2. SUMBER SASTRA DAN TEMPAT PELAKSANAAN TAWUR PANCA WALI KRAMA DI BESAKIH.
1) Sumber sastranya.
Cukup banyak lontar-lontar yang mengungkapkan Taur Panca Wali Krama. Kebanyakan mengungkapkan periode pelaksanaan Taur Panca Wali Krama yang dikaitkan dengan upacara Eka Dasa Rudra hingga Eka Bhuwana sebagai satu siklus upacara seratus tahunan. Diantara sumber-sumber tersebut antara lain :.
a. Lontar Widhi Sastraning Taur Eka Dasa Rudra, dari Wanasari Tabanan, menyebutkan :”Huwusning Eka Dasa Rudra patawurakena Bhuta Panca Wali Krama, gaweya sanggar 5, tekaning panggungan panca desa. Wusning mangkana patawurakena Tri Bhuwana, ngaran, patawurakena Gurunya. Sanggar Tawang sanunggal panggungan sawiji. Mangkana yogyaniya gelarakena de sang rumakseng praja mandala, lawan para wiku Aji, sang sampun kreta yaseng yadnya sinanggah Weda Paraga.
b. Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Intaran Sanur, menyebutkan : Ngadasa tahun amanca wali Krama ring Basukih; puput panca Wali Krama ping 10 mewasta windu turas, nga. Ring kaping solasniya wawu ngeka dasa rudra rah windu, tenggek windu. .
c. Widhi Sastra Niti Pedanda Sakti Wahu rawuh, antara lain menguraikan bahwa bilamana terjadi “prawesaning jagat rusak” seperti bencana alam, banyak terjadi wabah penyakit patut dilaksanakan upacara Taur Panca Wali Karma di Besakih, dan di batas-batas desa dilaksanakan upacara yang lebih kecil.
d. Lontar Eka Dasa Rudra, Geriya Lod Rurung Riyang Gede, menyebutkan Wusni Eka dasa Rudra, patawurakna Bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa, pur, da, pas, u, ma. Telasning mangkana Tri Bhuwana, angadegaken sanggar tawang tiga saha panggungan siji sowang, u, ma, da. Wus mangkana patawurakna Gurudya.
e. Lontar Bhama Kretih, menguraikan :”Wusning Eka Dasa Rudra patawurakna bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa, marep pur, da, pas, u, ma,. I Tlas mangkana muwah patawurakena Tri Bhuwana angadegaken sanggar tawang 3, saha panggungan siji sowang, u, ma, da,. Wus mangkana malih patawurakena Guruniya sanggar tawang 1.
f. Lontar Tingkahing Karya Panca Wali Krama, Geriya Telaga Sanur: menyebutkan : Nihan tingkahing karya Panca Wali Krama keangge ring Negara krama, ring pempatan agung, durung keangge ring parhyangan dewa pacang mahayu jagate ring Bali nganut I sojar ira Sri Jaya Kasunu. Sumber ini menyebutkan Panca Wali Krama untuk tingkat negara karma (desa-desa), tidak digunakan di pura-pura besar seperti Besakih.
g. Purana Pura Agung Besakih, tidak menyinggung periode pelaksanaannya, hanya menguraikan tentang rincian upakaranya yang sedikit berbeda dalam hal binatang korban yang dipergunakan bila dibandingkan dengan sumber-sumber lainnya.
2) Tempat pelaksanaannya.
Tempat pelaksanaan upacara Taur Panca Wali Krama adalah di Bencingah Pura Agung Besakih. Tempat ini diyakini merupakan sentral, oleh karena sesuai dengan struktur pura Agung Besakih, dari tempat ini ke arah bawah disebut soring ambal-ambal” yang melambangkan alam bawah (adhah) yang terdiri atas sapta patala. Sedangkan kearah atas dari bencingah agung disebut luhuring ambal-ambal yang melambangkan alam atas (urdhah) yang terdiri atas saptra loka Disamping Pura Agung Besakih secara umum diyakini sebagai central (madyaning mandala) .
3. BEBERAPA JENIS TAUR PANCA WALI KRAMA
Jenis-jenis upacara Taur Panca Wali Krama:
a. Upacara yang bersifat rutin yaitu ketika tahun saka bilangan satuannya menemui angka nol ( Tenggek windu). Ngadasa tahun amanca wali Krama ring Basukih; puput Panca Wali Krama ping 10 mewasta windu turas, nga. Ring kaping solasniya wawu ngeka dasa rudra rah windu, tenggek windu. (Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya
b. Panca Wali Krama sebagai penutup Eka Dasa Rudra. (Wusni Eka Dasa Rudra, patawurakna Bhuta Panca Wali Krama, lwire amanca desa, pur, da, pa, u, ma. Telasning mangkana Tri Bhuwana, angadegaken sanggartawang tiga saha panggungan siji sowing, u, ma, da. Wus mangkana patawurakna Gurudya. (Eka Dasa Rudra, Geriya Lod Rurung Riyang Gede, Hal. 9b).
c. Sesuai dengan Lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Intaran, Sanur, bahwa terkait dengan rangkaian Eka Dasa Rudra, ada Panca Wali Krama di Danu Nyegjegang Bhatari Danu. Diuraikan sebagai berikut : ….. mwah Danu Panca Wali Krama nyegjegang Bhatari Danu nlasang kebo 4, tekaning pangelem.
d. Panca Wali Krama ketika jagat rusak, wenang gelaran Tawur Panca walikrama, sebagaimana disebut dalam lontar Widhi Sastra Niti Pedanda Sakti Wahurawuh:
e. Panca Wali Krama di Negara krama, sebagaimana diuraikan dalam lontar Tingkahing Karya Panca Wali Krama, Geriya Telaga Sanur:
4. RANGKAIAN UPACARA PANCA WALI KRAMA
Sebagaimana biasa diawali dengan ngatur piuning bahwa akan dilaksanakan Taur Panca Wali Krama pada waktunya, dilanjutkan dengan Nuwasen Karya yang disertai dengan nunas tirta pengandeg untuk disiratkan di setra. Dilanjutkan dengan rangkaian-rangkaian persiapan lainnya seperti memineh empehan, membuat madu parka, nanding catur, nanding bagia pulakerti, nyukat genah, nunas tirtha penyaksi karya, dll. Rangkaian lainnya adalah melaksanakan upacara melasti, yang perjalanannya mengikuti rute tertentu sesuai dengan tradisi. Sehari sebelum puncak upacara dilaksanakan upacara Mepepada, dan sore harinya upacara menben. Pada puncak Taur Panca Wali Krama, juga disertai dengan Upacara Padanan, Upacara di Ayun Widhi, pemujaannya dilaksanakan dari Bale Gajah, dan Upacara Tedun ke Paselang bertempat di Bale Paselang Penataran Agung. Tiga hari setelah puncak Taur Panca Wali Krama ditutup dengan upacara Pangremekan. Setelah itu menyusul rangkaian upacara Bhatara Turun Kabeh seperti biasa. Rangkaian terakhir adalah Upacara Penyineban yang disertai dengan melaksanakan tirta panglebar dan akhirnya ditutup dengan upacara Mejauman.
5. UPAKARA TAUR PANCA WALI KRAMA
Sesuai dengan lontar Ngeka Dasa Rudra, Geriya Taman Sanur, bahwa Taur Panca Wali Krama di Besakih yang dilaksanakan dalam siklus sepuluh tahunan sekali merupakan satu kesatuan dengan Candi Narmada, Panca Wali Krama di Danu (Nyegjegang Bhatari Danu), Eka Dasa Rudra, Tri Bhuwana dan Eka Bhuwana yang dilaksanakan dalam siklus seratus tahunan sekali.
Dalam satu paket upakara Eka Dasa Rudra dengan rangkaiannya menghabiskan kerbau sebanyak 45 ekor yaitu: rangkaian upacara yang pertama adalah Candi Narmada menghabiskan 5 ekor kerbau, diikuti dengan Panca Wali Krama di Danu, menghabiskan 4 ekor kerbau, dilanjutkan dengan Eka Dasa Rudra menghabiskan 26 ekor kerbau, diikuti lagi dengan Panca Wali Krama, menghabiskan 4 ekor kerbau, setelah itu Tri Bhuwana menghabiskan 4 ekor kerbau dan sebagai rangkaian terakhir Eka Bhuwana menghabiskan 2 ekor kerbau. Tampaknya standar yang dipergunakan dalam upakaranya ditentukan berdasarkan jumlah kerbau yang dipergunakan, tentunya yang lain akan menyesuaikan, seperti banyaknya bebangkit, catur, suci, padudusan agung, dan sebagainya.
Uraian tentang upakara Taur Panca Wali Krama disini tidak dimaksudkan secara teknis dan mendetail, melainkan akan dikemukakan beberapa kelompok upakara yang dipandang menonjol untuk pengkajian lebih lanjut tentang makna filosofisnya. Beberapa kelompok upakara tersebut adalah :
a. Upakara di sanggar Tawang, Akasa dan Pertiwi.
1) Upakara di Sanggar Tawang : Banten yang utama adalah catur, suci, dewa-dewi, dilengkapi pula dengan siwa bahu, pucuk bahu, gana pikulan, panca saraswati, wedya, serta kelengkapan lainnya. Sanggar tawangnya sendiri seperti biasa dihias dengan dahuduh dan peji.
2) Upakara di Sanggar Luhuring Akasa. Memakai Bebangkit putih dengan ulamnya itik putih.
3) Upakara untuk Ibu Pertiwi. Bebangkit ireng (merah ?),dengan ulam babi.
Ketiga kelompok upakara ini tampaknya juga memiliki makna untuk pelestarian ketiga alam tersebut. Untuk mencapat kesejahtraan hidup di dunia ini patut di dukung dengan kelestarian dan keharmonisan alam bawah dan alam atas, yang dikiaskan sebagai bapa akasa dan ibu pertiwi .
b. Upakara di panggungan,
Upakara di panggungan yang terletak pada empat penjuru mata angin (nyatur desa) berupa bebangkit agung masing-masing 1 pasang yaitu memakai ulam itik dan satu lagi memakai ulama bawi, dengan warna sesuai dengan kiblatnya. Kelengkapan lainnya tentu saja tidak dapat dilepaskan adanya gayah utuh, karena tingkat bebangkitnya yang diperguanakan adalah bebangkit agung.
Sedangkan panggungan yang di tengah memakai bebangkit agung 5 buah (manca warna).
Pada masing-masing panggungan juga dilengkapi dengan penjor, di dalam lontar disebutkan : penjorniya petung kinerik denabersih plawaniya andong, paku saji, sinwi wangun pramangke, masurat sanjata paideran.
c. Upakara tawur dengan kelengkapannya.
1) Upakara tawur Panca Wali Krama yang biasa diperguanakan di Bencingan Pura Agung Besakih adalah dalam tingkatan yang utama yaitu dengan “lawa tiga”, (tiga lapisan), bawah (adhah), tengah (madya) dan atas (urdhah). Ketiga lapisan taur tersebut ditandai dengan memakai masing-masing tiga jenis binatang korban pada kelima penjuru: mulai dari timur, selatan, barat, utara dan tengah masing sebagai berikut: lawa paling bawah (adhah) memakai ayam putih, merah, kuning (putih siyungan), hitam dan brumbun. Pada lawa yang ditengah (madya) bertutur-turut menggunakan : angsa, asu bang bungkem, banyak, bawi butuan serta itik belang kalung. Pada lawa yang paling atas (urdhah) terdiri dari: sapi (lembu), kidang, menjangan, kebo serta kambing belang.
Tiga lapisan upakara taur ini mungkin juga ada kaitannya dengan pelestarian tiga lapisan alam semesta yaitu alam bawah, tengah dan atas.
2) Upakara Tri Samaya di sanggar suku tiga
Upakara yang dikenal dengan “tri semaya” ditempatkan pada tempat khusus berupa sanggar suku tiga mengingatkan kita pada ceritra Dewa Wisnu ketika mengalahkan raksasa Bali dengan melangkahkan kakinya (sukunya) pada tiga dunia ini. Apakah ada korelasi makna upakara ini dengan pelestarian tiga alam bhur, bhwah dan swah menarik untuk kita kaji bersama. Inti upakaranya adalah bebangkit.
3) Upakara Panunggun Tawur,
Diantaranya memakai daksina sarwa 7, beras 7 catu, bebangkit, serta kelengkapan upakara lainnya
4) Upakara lantaran bhatara
Upakara ini diletakkan di sor sanggar tawang yang ada di tengah, yang utama memakai kebo yosbrana dengan kelengkapan upakaranya, seperti cau-cau, kekuduk, pering, bebangkit, dan lain-lain, disertai pula dengan upakara Yama Raja, yang memakai sarana tepung sebagai alas untuk menuliskan aksara-aksara suci simbul Yama Raja. Alat penulisnya menggunakan duri pohon bila.
d. Upakara di tempat pemujaan.
Upakara yang utama disini adalah upakara-upakara yang bersifat menyucikan yang utama adalah padyus-dyusan (padudusan agung) dengan tirtha nawa ratna, dan berbagai jenis tirtha penyucian lainnya .
e. Upakara Padanan.
Khusus untuk padanan merupakan satu kesatuan tersendiri karena lengkap dengan Sangar Tawangnya, disertai dengan upakara di Bale Padanan, serta upakara caru dalam tingkat “wrhaspati kalpa” (Memakai sarana ayam
f. Upakara Ayun Widhi,
Upacara di Ayun Widhi juga meliputi tiga unsur, yaitu upakara di luhur yang ditempatkan di Sanggar Tawang lengkap dengan Sanggar Akasa dan Pertiwinya. Upakara di madia, yaitu upakara-upakara di bale panggungan, yang terdiri dari bebangkit agung beserta gayah utuhnya. Dan upakara di sor adalah caru di sor sanggar tawang yang merupakan dasar dari lantaran Ida Bhatara.
g. Upacara tedun ke Paselang.
Paselang juga merupakan satu kesatuan upakara yang terdiri dari upakara di Sanggar Tutuwan, upakara lantaran di sor dan upakara di Bale Paselang. Upakara di Bale paselang yang menonjol adalah pemujaan kehadapan Sanghyang Semara Ratih, yang disertai pula dengan upacara “Majijiwan”
Makna upakara secara umum diuraikan dalam lontar Tingkahing Karya Panca Wali Krama Geriya Telaga Sanur sebagai berikut
Apan pabanten pinaka sarira bhatara, Ikang Sanggar Tawang pinaka Siwalingga Bhatara, bantene ring panggungan agung pinaka Bahuangga Bhatara, Ikang paselang pinaka Jagana bhaga-purus Bhatara Ikang caru sor pinaka Suku delamakan Bhatara,.
Semua binatang korban yang dipergunakan dalam kelompok-kelompok upakara tersebut ditekankan yang masih muda, tidak cacat, dan khusus untuk binatang yang berkaki empat agar belum “metelusuk” dan umurnya telah lewat 6 bulan
Dalam rangkaian taur Panca Wali Krama dan Bhatara Turun Kabeh tahun ini semua pura Pedharman diharapkan agar ikut ngiringang Ida Bhatara melasti ke segara Klotok, dan nyejer sebisanya, sebagai wujud ikut “ngertiyang karya agung ini”.Selanjutnya untuk upakara dalam hubungan dengan Bhatara Turun Kabeh, pada dasarnya berlaku seperti biasa karena telah rutin dilaksanakan setiap tahun sekali. Tidak ada kekhusan walaupun diawali dengan taur Panca Wali Krama.
6. PENUTUP
Demikianlah sekilas tentang taur Panca Wali Krama yang akan dilaksanakan pada tanggal 25 Maret 2009 di bencingah Pura Agung Besakih. Semoga dengan dukungan seluruh umat untuk ikut melaksanakan yasa kirti dengan setulus-tulusnya Karya Agung Panca Wali karma dan Bhatara Turun Kabeh yang kebetulan bertepatan dengan pelaksanaan pemilu Legeslatif 9 April 2009 akan dapat berjalan dengan baik dan lanjur.
Tjokorda Raka Krisnu
Dikutif ; Karta Widnyana/www.beritakarangasem.blogspot.com